
Cina dan Rusia: Berdua Upayakan Tatanan Dunia Baru
Dalam satu dekade terakhir, dunia menyaksikan pergeseran kekuatan global yang signifikan. Di tengah ketegangan geopolitik Cina dan Rusia, sanksi ekonomi, dan konflik wilayah, dua negara raksasa Cina dan Rusia semakin memperkuat aliansi strategis mereka. Bersama-sama, keduanya mendorong narasi “tatanan dunia baru” yang menantang dominasi Barat yang telah lama mengatur sistem global pasca-Perang Dunia II.
Kemitraan Strategis: Dari Ekonomi hingga Militer
Hubungan antara Cina dan Rusia bukanlah hal baru, namun dalam beberapa tahun terakhir, kemitraan itu semakin konkret dan terbuka. Kerja sama ekonomi, militer, teknologi, hingga diplomasi global menunjukkan bahwa kedua negara ini memiliki kepentingan bersama dalam merancang ulang struktur global.
- Ekonomi dan Energi: Rusia menjadi salah satu pemasok utama energi bagi Cina, terutama setelah sanksi ekonomi dari negara-negara Barat akibat perang Ukraina. Proyek seperti jalur pipa gas Power of Siberia menjadi simbol ketergantungan dan sinergi ekonomi antara keduanya.
- Militer dan Keamanan: Latihan militer bersama, pertukaran intelijen, dan kerja sama senjata menunjukkan bahwa hubungan mereka bukan sekadar ekonomi. Mereka juga ingin menegaskan kekuatan militer sebagai bagian dari pengaruh global mereka.
- Teknologi dan Infrastruktur: Cina melalui inisiatif Belt and Road (Jalur Sutra Baru) membangun koneksi perdagangan lintas benua, sementara Rusia menawarkan dukungan dalam teknologi keamanan dan cyber-defense.
Ideologi Bersama: Dunia Multipolar
Cina dan Rusia secara terbuka menolak sistem dunia unipolar yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Mereka mempromosikan “dunia multipolar” yaitu tatanan dunia di mana tidak ada satu negara yang mendominasi, dan keputusan global ditentukan oleh banyak kutub kekuatan.
Bagi Rusia, ini adalah respons terhadap tekanan NATO dan sanksi ekonomi. Bagi Cina, ini adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk menjadi kekuatan utama dunia dengan gaya kepemimpinan sendiri yang berbeda dari model liberal Barat.
Respons Dunia: Ancaman atau Alternatif?
Aliansi Cina-Rusia menimbulkan raja zeus kekhawatiran di negara-negara Barat. NATO dan Uni Eropa telah menyuarakan keprihatinan atas manuver kedua negara yang dinilai bisa mengganggu stabilitas global. Di sisi lain, beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melihat kerja sama ini sebagai alternatif terhadap dominasi Barat, dan memilih mendekat demi keuntungan ekonomi atau diplomatik.
Organisasi seperti BRICS (yang kini mencakup lebih banyak negara) menjadi salah satu platform di mana Cina dan Rusia menunjukkan kekuatan pengaruh mereka di luar kerangka institusi yang dikendalikan Barat, seperti IMF atau PBB.
Tantangan Internal dan Eksternal
Meski terlihat kompak, hubungan Cina dan Rusia bukan tanpa tantangan. Keduanya memiliki sejarah ketegangan di masa lalu, dan masih menyimpan perbedaan strategi dalam beberapa isu. Rusia lebih terbuka dalam pendekatan militer, sementara Cina cenderung mengedepankan pendekatan ekonomi dan diplomasi lunak (soft power).
Selain itu, tekanan internal seperti krisis ekonomi, protes publik, atau ketegangan etnis juga dapat memengaruhi konsistensi aliansi ini dalam jangka panjang.
BACA JUGA: Donald Trump dan Gambar Dirinya sebagai Paus: Antara Simbolisme dan Kontroversi

Donald Trump dan Gambar Dirinya sebagai Paus: Antara Simbolisme dan Kontroversi
Baru-baru ini, dunia maya kembali dihebohkan oleh sebuah gambar yang menampilkan Donald Trump dalam balutan pakaian Paus. Gambar tersebut, yang beredar luas di media sosial dan forum daring, memicu berbagai reaksi dari publik, mulai dari kekaguman hingga kecaman. Meskipun diketahui bahwa gambar itu bersifat simbolik dan satir, banyak yang mempertanyakan pesan di balik penyimbolan Trump sebagai figur religius tertinggi dalam Gereja Katolik.
Sebagai tokoh politik yang dikenal penuh kontroversi, Trump tidak asing dengan penggunaan simbol-simbol kuat untuk memperkuat citra dirinya. Mengenakan atribut Paus, baik secara nyata dalam foto rekayasa maupun melalui ilustrasi, bisa dianggap sebagai cara untuk menggambarkan dirinya sebagai sosok yang memiliki kekuasaan moral dan spiritual yang luar biasa—meskipun bertentangan dengan nilai-nilai yang biasanya diasosiasikan dengan kerendahan hati seorang pemimpin agama.
Gambar ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini sekadar ekspresi artistik atau bentuk kritik sosial? Banyak analis politik melihatnya sebagai satir yang mengkritik ambisi Trump yang sering kali dinilai megalomaniak. Ia kerap membandingkan dirinya dengan tokoh-tokoh besar dalam sejarah, dan simbol Paus dapat ditafsirkan sebagai lambang pengaruh yang absolut—sesuatu yang sering dituduhkan sebagai ambisi tersembunyi dalam gaya kepemimpinannya.
Di sisi lain, pendukung fanatik Trump bisa saja memaknai gambar ini sebagai bentuk pemuliaan. Dalam pandangan mereka, Trump dianggap sebagai “juru selamat” bangsa Amerika dari ancaman liberalisme, imigrasi tak terkendali, atau kebijakan global yang mereka anggap merugikan AS. Mereka tidak ragu menggunakan simbol religius untuk memperkuat narasi bahwa Trump adalah pilihan ilahi.
Namun, penggunaan simbol keagamaan untuk tujuan politik bukanlah hal baru. Sejarah mencatat banyak pemimpin dunia yang mencoba memadukan kekuasaan politik dan link rajazeus otoritas religius demi kepentingan tertentu. Yang membedakan Trump adalah bagaimana narasi tersebut dibentuk melalui media modern dan budaya pop, menjadikannya viral dan menjangkau audiens global dalam waktu singkat.
Gereja Katolik sendiri belum memberikan pernyataan resmi mengenai penggunaan simbol Paus dalam gambar-gambar yang menyerupai Trump. Namun, sebagian umat Katolik merasa hal ini merupakan bentuk penistaan, karena menyamakan seorang tokoh politik kontroversial dengan pemimpin spiritual umat Katolik dianggap tidak pantas, bahkan ofensif.
Pada akhirnya, gambar Donald Trump sebagai Paus menjadi cerminan bagaimana figur publik dapat dimanipulasi melalui simbolisme visual untuk menyampaikan pesan—baik dukungan, kritik, maupun sindiran. Apakah itu bagian dari propaganda, seni, atau lelucon politik, semuanya kembali pada interpretasi masing-masing. Namun yang pasti, simbol seperti ini menunjukkan bahwa dalam era digital, politik dan citra visual tak bisa dipisahkan.

Pakar: Indonesia Hadapi Darurat Politik Luar Negeri
Jakarta, 5 Mei 2025 – Sejumlah pakar hubungan internasional menyoroti bahwa Indonesia tengah menghadapi situasi yang dapat dikategorikan sebagai “darurat politik luar negeri.” Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global, konflik bilateral, dan kebijakan luar negeri Indonesia yang dinilai belum cukup responsif terhadap dinamika internasional yang cepat berubah.
Peringatan dari Akademisi dan Diplomat Senior
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hendra Wibowo, menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada di persimpangan yang rawan akibat kurangnya konsistensi dalam kebijakan luar negeri dan lemahnya posisi diplomatik di beberapa forum internasional penting.
“Kita melihat tanda-tanda kegentingan. Indonesia belum memiliki strategi komprehensif menghadapi isu-isu seperti Laut China Selatan, krisis Myanmar, maupun tekanan dari negara-negara besar dalam isu HAM dan ekonomi hijau,” ujar Hendra dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa posisi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara non-blok dan menjunjung tinggi prinsip bebas aktif, kini mulai dipertanyakan efektivitasnya di tengah polarisasi global antara blok Barat dan Timur.
Tantangan-Tantangan Utama
1. Laut China Selatan
Indonesia menghadapi tekanan yang makin besar di wilayah perairan Natuna Utara, yang secara tidak langsung diklaim oleh China dalam peta sembilan garis putus. Meski Indonesia bukan pihak dalam konflik klaim, kapal-kapal China kerap memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
2. Krisis Myanmar
Sebagai pemimpin ASEAN de facto, Indonesia dituntut memainkan peran lebih aktif dalam menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar. Namun, upaya mediasi sejauh ini dinilai belum memberikan hasil signifikan.
3. Hubungan dengan Negara-Negara Barat
Desakan negara-negara Barat terkait isu HAM, demokrasi, dan transisi energi ramah lingkungan turut membebani diplomasi Indonesia. Ketergantungan pada ekspor batu bara dan nikel menjadi salah satu titik lemah yang mudah diserang.
4. Ketegangan Global
Situasi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan konflik Israel-Palestina menuntut Indonesia untuk mengambil posisi yang jelas. Namun, pemerintah masih dinilai ambigu dan terlalu hati-hati dalam mengambil sikap resmi di forum-forum internasional seperti PBB dan G20.
Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah
Beberapa analis menilai bahwa Kementerian Luar Negeri belum mampu bergerak cukup cepat merespons perubahan global. “Kita ini seperti sedang menjalankan kebijakan luar negeri di ‘autopilot’. Padahal dinamika global menuntut rajazeus link alternatif kelincahan dan ketegasan,” kritik Dimas Hadi, peneliti senior di Lembaga Kajian Strategis Internasional (LKSI).
Ia juga menyoroti minimnya komunikasi publik yang transparan dari pemerintah terkait posisi Indonesia dalam berbagai isu global. Ini membuat masyarakat sulit memahami arah diplomasi nasional.
Saran dan Rekomendasi
Para pakar memberikan sejumlah rekomendasi agar Indonesia dapat keluar dari kondisi “darurat politik luar negeri” ini:
-
Perkuat Kapasitas Diplomatik: Indonesia perlu menambah jumlah diplomat profesional dan memperluas jaringan diplomatik ke kawasan-kawasan strategis seperti Afrika, Eropa Timur, dan Amerika Latin.
-
Revisi Strategi Bebas Aktif: Konsep bebas aktif harus disesuaikan dengan realitas geopolitik masa kini, di mana netralitas tak selalu menguntungkan jika tidak dibarengi dengan kejelasan nilai dan prioritas nasional.
-
Konsolidasi Domestik: Pemerintah harus menyinkronkan kebijakan luar negeri dengan kepentingan ekonomi dan politik dalam negeri, agar diplomasi tidak bertabrakan dengan kebutuhan nasional.
-
Peningkatan Diplomasi Digital dan Publik: Di era media sosial, komunikasi diplomatik harus lebih terbuka, cepat, dan efektif menjangkau masyarakat luas.