April 30, 2025

Mairiederabat | Hubungan Diplomatik Internasional

Hubungan dengan berbagai negara luar negeri wajib dibangun untuk meraih kepentingan bernegara.

politik luar negri
2025-04-17 | admin3

Menguji Ketahanan Kerja Sama ASEAN: Peran Indonesia dalam Menyikapi Persaingan AS-China di Asia Tenggara

Asia Tenggara telah menjadi panggung persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam beberapa dekade terakhir. Dari segi ekonomi, keamanan, hingga pengaruh politik, kedua negara adidaya ini saling memperebutkan dominasi di kawasan yang secara geografis dan ekonomi sangat vital. Di tengah dinamika ini, ASEAN sebagai organisasi regional dihadapkan pada ujian ketahanan untuk menjaga netralitas, stabilitas, dan relevansinya. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN dan salah satu pendiri organisasi ini, Indonesia memikul peran kunci dalam memastikan kerja sama ASEAN tetap solid sekaligus menjawab tantangan persaingan AS-China.


ASEAN di Tengah Tarik-Ulur AS-China

Persaingan AS-China di Asia Tenggara semakin mengeras seiring dengan kebijakan “Indo-Pacific Strategy” AS yang bertujuan membendung pengaruh China, serta inisiatif “Belt and Road Initiative” (BRI) China yang memperluas investasi infrastruktur dan ekonomi di kawasan. ASEAN, dengan prinsip non-interferensi dan konsensus, sering kali kesulitan merespons secara kolektif. Contohnya, dalam isu Laut China Selatan, beberapa negara anggota seperti Filipina dan Vietnam bersikap vokal menentang klaim China, sementara Kamboja dan Laos cenderung pro-Beijing.

Di sinilah Indonesia, sebagai natural leader ASEAN, dituntut menjadi penyeimbang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan menegaskan komitmen Indonesia pada prinsip “ASEAN Sentralitas”, yakni menjadikan ASEAN sebagai poros utama dalam menyelesaikan masalah regional. Salah satu wujud konkretnya adalah penguatan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang digagas Indonesia pada 2019. AOIP menekankan kerja sama inklusif, transparan, dan berbasis hukum—sebuah upaya untuk mencegah kawasan menjadi medan perang proxy AS-China.


Strategi Indonesia: Diplomasi Netral dan Kepentingan Nasional

Indonesia tidak sepenuhnya “netral” dalam persaingan AS-China. Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia membutuhkan investasi asing dan transfer teknologi dari kedua negara. Namun, Jakarta berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjebak dalam polarisasi.

  1. Ekonomi: Menjembatani Kepentingan AS dan China
    • Di satu sisi, Indonesia menggandeng China dalam proyek strategis seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan pengembangan kawasan industri di Kalimantan. Total investasi China di Indonesia mencapai USD 32 miliar pada 2023.
    • Di sisi lain, Indonesia memperkuat kerja sama dengan AS melalui Comprehensive Strategic Partnership (2023), yang mencakup energi bersih, pertahanan siber, dan penguatan demokrasi. AS juga menjadi mitra utama dalam pengembangan nikel—komoditas kunci untuk baterai kendaraan listrik.
  2. Keamanan: Menolak Aliansi Militer Eksklusif
    Indonesia menolak bergabung dengan aliansi militer seperti QUAD (AS, Jepang, India, Australia) yang dianggap provokatif oleh China. Namun, Jakarta tetap melakukan latihan militer dengan AS, seperti Garuda Shield, sembari memperkuat armada laut di Natuna untuk menegakkan kedaulatan.
  3. Diplomasi Kultural: Soft Power sebagai Alat Perekat ASEAN
    Indonesia memanfaatkan diplomasi budaya dan agama moderat untuk memperkuat kohesivitas ASEAN. Forum seperti Bali Democracy Forum dan peran sebagai mediator konflik Myanmar mencerminkan upaya ini.

Tantangan dan Kritik terhadap Peran Indonesia

Meski dianggap sebagai pemimpin alami ASEAN, kebijakan luar negeri Indonesia kerap dikritik terlalu reaktif dan kurang visioner. Beberapa tantangan utama meliputi:

  1. Fragmentasi ASEAN: Ketidaksepakatan internal ASEAN, seperti slot rajazeus dukungan Kamboja terhadap China dalam isu Laut China Selatan, melemahkan posisi tawar kolektif.
  2. Ketergantungan Ekonomi pada China: Defisit perdagangan Indonesia dengan China mencapai USD 16 miliar pada 2023. Ketergantungan ini berpotensi memengaruhi independensi kebijakan luar negeri.
  3. Tekanan Domestik: Isu seperti pengangguran dan kesenjangan infrastruktur membuat pemerintah fokus pada agenda dalam negeri, sehingga diplomasi luar negeri kadang terabaikan.

Masa Depan ASEAN: Perlukah Indonesia Lebih Asertif?

ASEAN hanya akan bertahan sebagai organisasi relevan jika mampu menjaga kedaulatan kolektif dan tidak menjadi “bidak” dalam persaingan AS-China. Untuk itu, Indonesia perlu:

  • Memperkuat kelembagaan ASEAN, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif.
  • Mendorong diversifikasi kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa, India, dan Timur Tengah untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan China.
  • Menginisiasi dialog inklusif antara AS-China-ASEAN guna mencegah eskalasi ketegangan di kawasan.

BACA JUGA: Politik Negara Kamboja Menanggapi WNA Indonesia yang Bekerja di Kamboja

Share: Facebook Twitter Linkedin
politik luar negri
2025-04-06 | admin3

Netanyahu Sebut Trump “Kawan Terbaik”

Yerusalem – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali menarik perhatian publik internasional setelah menyebut mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sebagai “kawan terbaik” yang pernah dimiliki Israel. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam sebuah wawancara televisi baru-baru ini, dan segera menjadi sorotan utama media, terutama mengingat dinamika politik antara kedua tokoh ini sejak beberapa tahun terakhir.

“Tak diragukan lagi, Donald Trump adalah salah satu sahabat terbaik Israel. Dia telah melakukan hal-hal luar biasa untuk negara kami, yang belum pernah dilakukan oleh presiden mana pun sebelumnya,” kata Netanyahu dalam wawancara tersebut.

Pernyataan itu merujuk pada sejumlah kebijakan Trump selama masa jabatannya yang secara terbuka menguntungkan Israel. Salah satu keputusan paling bersejarah adalah pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem pada tahun 2018. Langkah ini diiringi dengan pengakuan resmi AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang selama ini menjadi titik sensitif dalam konflik Israel-Palestina.

Selain itu, Trump juga mengakui kedaulatan Perjanjian Israel Amerika atas wilayah Dataran Tinggi Golan — kawasan strategis yang direbut Israel dari Suriah pada Perang Enam Hari tahun 1967 dan dianeksasi secara sepihak pada 1981. Dukungan ini disebut Netanyahu sebagai bukti nyata dari “komitmen Trump terhadap keamanan dan legitimasi Israel di mata dunia.”

Netanyahu juga menyoroti kontribusi Trump dalam mendorong tercapainya Abraham Accords, serangkaian kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. “Dia membuka jalan menuju era baru di Timur Tengah,” ujar Netanyahu.

Namun, hubungan keduanya sempat mengalami keretakan pasca pemilu AS 2020, ketika Netanyahu mengucapkan selamat kepada Joe Biden atas kemenangan pemilunya. Trump dilaporkan kecewa dengan respons cepat Netanyahu, yang dinilai terlalu cepat mengakui hasil pemilu yang saat itu masih diperdebatkan. Meski sempat renggang, Netanyahu dan Trump tampaknya telah memperbaiki hubungan mereka dalam beberapa bulan terakhir.

Pengamat politik menilai bahwa pujian Netanyahu terhadap Trump bukan sekadar ungkapan pribadi, melainkan juga bisa dibaca sebagai strategi politik. Di tengah tekanan politik dalam negeri dan ketegangan regional yang belum reda, Netanyahu tampaknya ingin memperkuat kembali dukungan dari sayap konservatif, baik di Israel maupun di kalangan pendukung Trump di Amerika Serikat.

Sejumlah analis juga menyebut pernyataan ini sebagai sinyal Netanyahu kepada pemerintahan Biden, yang dinilai kurang agresif dalam membela kepentingan Israel di beberapa isu, terutama yang berkaitan dengan Iran dan konflik di Jalur Gaza.

Terlepas dari dinamika politik di baliknya, pernyataan Netanyahu tersebut menegaskan kembali betapa pentingnya hubungan pribadi antara pemimpin negara dalam membentuk arah kebijakan luar negeri. Dalam konteks Israel-AS, hubungan Netanyahu dan Trump menjadi contoh nyata bagaimana kedekatan dua tokoh bisa membawa dampak besar dalam geopolitik kawasan.

BACA JUGA: 6 Fakta Menarik Menjadi Seorang Diplomat Di Luar Negeri

 

Share: Facebook Twitter Linkedin
politik luar negri
2025-04-06 | admin3

Politik Negara Kamboja Menanggapi WNA Indonesia yang Bekerja di Kamboja

Kamboja, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara, memiliki kebijakan politik dan sosial yang berfokus pada pembangunan ekonomi, penguatan sektor industri, dan keterbukaan terhadap investasi luar negeri. Dalam hal ini, negara tersebut memandang tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia, sebagai bagian penting dalam pembangunan berbagai sektor di Kamboja. Indonesia, sebagai negara tetangga yang memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan Kamboja, menjadi salah satu negara pengirim tenaga kerja yang signifikan bagi berbagai sektor di Kamboja, termasuk konstruksi, pariwisata, teknologi, dan manufaktur.

Kebijakan Tenaga Kerja Asing di Kamboja

Kamboja memiliki kebijakan yang cukup terbuka terhadap keberadaan WNA (Warga Negara Asing) yang bekerja di negara tersebut. Pemerintah Kamboja menyadari bahwa kehadiran tenaga kerja asing, terutama dari negara-negara tetangga seperti Indonesia, dapat membantu mempercepat proses pembangunan ekonomi mereka. Oleh karena itu, pemerintah Kamboja menyediakan berbagai kemudahan bagi para pekerja asing, meskipun tetap ada regulasi yang perlu dipatuhi.

Salah satu regulasi utama yang diterapkan oleh Kamboja terkait WNA adalah kewajiban untuk memiliki visa kerja atau izin kerja yang sah. Pemerintah Kamboja mengeluarkan visa khusus untuk pekerja asing yang ingin bekerja di negara ini, termasuk pekerja dari Indonesia. Visa kerja ini sering kali terhubung dengan kontrak kerja di perusahaan atau lembaga yang beroperasi di Kamboja. Selain itu, ada sejumlah peraturan yang mengatur gaji dan perlakuan terhadap pekerja asing, untuk memastikan hak-hak mereka dihormati selama bekerja di negara tersebut.

Perspektif Pemerintah Kamboja Terhadap Pekerja Indonesia

Pemerintah Kamboja secara umum memandang pekerja Indonesia dengan positif, karena mereka dianggap memiliki keterampilan yang diperlukan untuk sektor-sektor tertentu. Banyak perusahaan di Kamboja, khususnya di sektor konstruksi, manufaktur, dan pariwisata, mengandalkan pekerja dari Indonesia yang memiliki keterampilan teknis dan pengalaman yang relevan. Selain itu, pekerja Indonesia dianggap sebagai tenaga kerja yang dapat beradaptasi dengan mudah dengan budaya kerja di Kamboja, berkat kesamaan budaya dan bahasa yang sedikit banyak mirip.

Namun, pemerintah Kamboja juga memastikan bahwa tenaga kerja asing tidak mengganggu pasar kerja lokal. Sebagai bagian dari kebijakan pengendalian tenaga kerja asing, Kamboja mengharuskan perusahaan untuk memberikan prioritas kepada warga negara Kamboja dalam proses rekrutmen. Jika ada posisi yang tidak dapat diisi oleh tenaga kerja lokal, maka perusahaan dapat merekrut pekerja asing, termasuk dari Indonesia.

Tantangan yang Dihadapi Pekerja Indonesia di Kamboja

Meskipun ada kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia di Kamboja, ada beberapa tantangan yang dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan sistem hukum dan regulasi yang berlaku di kedua negara. Pekerja Indonesia perlu memahami hak dan kewajiban mereka sesuai dengan peraturan Kamboja, terutama terkait dengan gaji, jam kerja, dan kondisi kerja. Kegagalan dalam mematuhi aturan ini bisa berakibat pada penangguhan izin kerja atau pemutusan hubungan kerja.

Selain itu, perbedaan bahasa juga menjadi politk kamboja tantangan tersendiri bagi pekerja Indonesia yang bekerja di Kamboja. Walaupun banyak pekerja Indonesia yang dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris, bahasa Khmer, yang merupakan bahasa resmi Kamboja, sering kali menjadi hambatan dalam berkomunikasi di tempat kerja atau berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Kerjasama Diplomatik antara Indonesia dan Kamboja

Dalam menjamin perlindungan bagi WNA Indonesia yang bekerja di Kamboja, kedua negara, Indonesia dan Kamboja, menjalankan berbagai bentuk kerjasama diplomatik. Pemerintah Indonesia, melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh, memberikan perlindungan dan bantuan kepada WNA Indonesia yang bekerja di Kamboja. Bantuan ini mencakup pemantauan terhadap hak-hak pekerja Indonesia, penyelesaian masalah hukum, serta memberikan informasi terkait peraturan yang berlaku di Kamboja.

Selain itu, Indonesia dan Kamboja juga terus memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan, yang turut mendorong peningkatan jumlah pekerja Indonesia yang bekerja di sektor-sektor penting di Kamboja. Kerjasama ini juga mendukung pengembangan ekonomi kedua negara, khususnya dalam sektor investasi dan perdagangan, di mana pekerja Indonesia menjadi bagian dari penggerak utama pembangunan tersebut.

Share: Facebook Twitter Linkedin