
Menguji Ketahanan Kerja Sama ASEAN: Peran Indonesia dalam Menyikapi Persaingan AS-China di Asia Tenggara
Asia Tenggara telah menjadi panggung persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam beberapa dekade terakhir. Dari segi ekonomi, keamanan, hingga pengaruh politik, kedua negara adidaya ini saling memperebutkan dominasi di kawasan yang secara geografis dan ekonomi sangat vital. Di tengah dinamika ini, ASEAN sebagai organisasi regional dihadapkan pada ujian ketahanan untuk menjaga netralitas, stabilitas, dan relevansinya. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN dan salah satu pendiri organisasi ini, Indonesia memikul peran kunci dalam memastikan kerja sama ASEAN tetap solid sekaligus menjawab tantangan persaingan AS-China.
ASEAN di Tengah Tarik-Ulur AS-China
Persaingan AS-China di Asia Tenggara semakin mengeras seiring dengan kebijakan “Indo-Pacific Strategy” AS yang bertujuan membendung pengaruh China, serta inisiatif “Belt and Road Initiative” (BRI) China yang memperluas investasi infrastruktur dan ekonomi di kawasan. ASEAN, dengan prinsip non-interferensi dan konsensus, sering kali kesulitan merespons secara kolektif. Contohnya, dalam isu Laut China Selatan, beberapa negara anggota seperti Filipina dan Vietnam bersikap vokal menentang klaim China, sementara Kamboja dan Laos cenderung pro-Beijing.
Di sinilah Indonesia, sebagai natural leader ASEAN, dituntut menjadi penyeimbang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan menegaskan komitmen Indonesia pada prinsip “ASEAN Sentralitas”, yakni menjadikan ASEAN sebagai poros utama dalam menyelesaikan masalah regional. Salah satu wujud konkretnya adalah penguatan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang digagas Indonesia pada 2019. AOIP menekankan kerja sama inklusif, transparan, dan berbasis hukum—sebuah upaya untuk mencegah kawasan menjadi medan perang proxy AS-China.
Strategi Indonesia: Diplomasi Netral dan Kepentingan Nasional
Indonesia tidak sepenuhnya “netral” dalam persaingan AS-China. Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia membutuhkan investasi asing dan transfer teknologi dari kedua negara. Namun, Jakarta berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjebak dalam polarisasi.
- Ekonomi: Menjembatani Kepentingan AS dan China
- Di satu sisi, Indonesia menggandeng China dalam proyek strategis seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan pengembangan kawasan industri di Kalimantan. Total investasi China di Indonesia mencapai USD 32 miliar pada 2023.
- Di sisi lain, Indonesia memperkuat kerja sama dengan AS melalui Comprehensive Strategic Partnership (2023), yang mencakup energi bersih, pertahanan siber, dan penguatan demokrasi. AS juga menjadi mitra utama dalam pengembangan nikel—komoditas kunci untuk baterai kendaraan listrik.
- Keamanan: Menolak Aliansi Militer Eksklusif
Indonesia menolak bergabung dengan aliansi militer seperti QUAD (AS, Jepang, India, Australia) yang dianggap provokatif oleh China. Namun, Jakarta tetap melakukan latihan militer dengan AS, seperti Garuda Shield, sembari memperkuat armada laut di Natuna untuk menegakkan kedaulatan. - Diplomasi Kultural: Soft Power sebagai Alat Perekat ASEAN
Indonesia memanfaatkan diplomasi budaya dan agama moderat untuk memperkuat kohesivitas ASEAN. Forum seperti Bali Democracy Forum dan peran sebagai mediator konflik Myanmar mencerminkan upaya ini.
Tantangan dan Kritik terhadap Peran Indonesia
Meski dianggap sebagai pemimpin alami ASEAN, kebijakan luar negeri Indonesia kerap dikritik terlalu reaktif dan kurang visioner. Beberapa tantangan utama meliputi:
- Fragmentasi ASEAN: Ketidaksepakatan internal ASEAN, seperti slot rajazeus dukungan Kamboja terhadap China dalam isu Laut China Selatan, melemahkan posisi tawar kolektif.
- Ketergantungan Ekonomi pada China: Defisit perdagangan Indonesia dengan China mencapai USD 16 miliar pada 2023. Ketergantungan ini berpotensi memengaruhi independensi kebijakan luar negeri.
- Tekanan Domestik: Isu seperti pengangguran dan kesenjangan infrastruktur membuat pemerintah fokus pada agenda dalam negeri, sehingga diplomasi luar negeri kadang terabaikan.
Masa Depan ASEAN: Perlukah Indonesia Lebih Asertif?
ASEAN hanya akan bertahan sebagai organisasi relevan jika mampu menjaga kedaulatan kolektif dan tidak menjadi “bidak” dalam persaingan AS-China. Untuk itu, Indonesia perlu:
- Memperkuat kelembagaan ASEAN, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif.
- Mendorong diversifikasi kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa, India, dan Timur Tengah untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan China.
- Menginisiasi dialog inklusif antara AS-China-ASEAN guna mencegah eskalasi ketegangan di kawasan.
BACA JUGA: Politik Negara Kamboja Menanggapi WNA Indonesia yang Bekerja di Kamboja

Netanyahu Sebut Trump “Kawan Terbaik”
Yerusalem – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali menarik perhatian publik internasional setelah menyebut mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sebagai “kawan terbaik” yang pernah dimiliki Israel. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam sebuah wawancara televisi baru-baru ini, dan segera menjadi sorotan utama media, terutama mengingat dinamika politik antara kedua tokoh ini sejak beberapa tahun terakhir.
“Tak diragukan lagi, Donald Trump adalah salah satu sahabat terbaik Israel. Dia telah melakukan hal-hal luar biasa untuk negara kami, yang belum pernah dilakukan oleh presiden mana pun sebelumnya,” kata Netanyahu dalam wawancara tersebut.
Pernyataan itu merujuk pada sejumlah kebijakan Trump selama masa jabatannya yang secara terbuka menguntungkan Israel. Salah satu keputusan paling bersejarah adalah pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem pada tahun 2018. Langkah ini diiringi dengan pengakuan resmi AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang selama ini menjadi titik sensitif dalam konflik Israel-Palestina.
Selain itu, Trump juga mengakui kedaulatan Perjanjian Israel Amerika atas wilayah Dataran Tinggi Golan — kawasan strategis yang direbut Israel dari Suriah pada Perang Enam Hari tahun 1967 dan dianeksasi secara sepihak pada 1981. Dukungan ini disebut Netanyahu sebagai bukti nyata dari “komitmen Trump terhadap keamanan dan legitimasi Israel di mata dunia.”
Netanyahu juga menyoroti kontribusi Trump dalam mendorong tercapainya Abraham Accords, serangkaian kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. “Dia membuka jalan menuju era baru di Timur Tengah,” ujar Netanyahu.
Namun, hubungan keduanya sempat mengalami keretakan pasca pemilu AS 2020, ketika Netanyahu mengucapkan selamat kepada Joe Biden atas kemenangan pemilunya. Trump dilaporkan kecewa dengan respons cepat Netanyahu, yang dinilai terlalu cepat mengakui hasil pemilu yang saat itu masih diperdebatkan. Meski sempat renggang, Netanyahu dan Trump tampaknya telah memperbaiki hubungan mereka dalam beberapa bulan terakhir.
Pengamat politik menilai bahwa pujian Netanyahu terhadap Trump bukan sekadar ungkapan pribadi, melainkan juga bisa dibaca sebagai strategi politik. Di tengah tekanan politik dalam negeri dan ketegangan regional yang belum reda, Netanyahu tampaknya ingin memperkuat kembali dukungan dari sayap konservatif, baik di Israel maupun di kalangan pendukung Trump di Amerika Serikat.
Sejumlah analis juga menyebut pernyataan ini sebagai sinyal Netanyahu kepada pemerintahan Biden, yang dinilai kurang agresif dalam membela kepentingan Israel di beberapa isu, terutama yang berkaitan dengan Iran dan konflik di Jalur Gaza.
Terlepas dari dinamika politik di baliknya, pernyataan Netanyahu tersebut menegaskan kembali betapa pentingnya hubungan pribadi antara pemimpin negara dalam membentuk arah kebijakan luar negeri. Dalam konteks Israel-AS, hubungan Netanyahu dan Trump menjadi contoh nyata bagaimana kedekatan dua tokoh bisa membawa dampak besar dalam geopolitik kawasan.
BACA JUGA: 6 Fakta Menarik Menjadi Seorang Diplomat Di Luar Negeri